BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Minggu, 25 Juli 2010

XVIII. Penggenapan Kepercayaan Tradisional Suku Sawi dan Auyu

Selama berabad-abad, suku Sawi dan Auyu di Nieuw Guinea Belanda bagian selatan punya kepercayaan tradisional yang akan digenapi orang-orang berkulit putih. Salah satu kepercayaan tradisional suku Sawi dan Auyu adalah mitos kultus kargo mereka tentang Dunia Baru. Kepercayaan tradisional lain, khususnya dari suku Sawi, berupa dua jenis citra penebusan atau keselamatan (redemptive or salvation images) yang akan menjadi semacam jembatan kebudayaan spiritual mereka ke arah penerimaan ajaran Kristen. Itulah citra tentang anak perdamaian dan kata-kata remon, suatu kata bahasa Sawi yang mirip artinya dengan “regenerasi, penjelmaan kembali, pergantian kulit, kelahiran baru”.

Terkenal melalui Peace Child

Suku Sawi dan Auyu menjadi terkenal secara internasional melalui buku tulisan Don Richardson, Peace Child (Regal Books, Ventura California 1974, 2003). Suatu ringkasan buku ini diterbitkan dalam majalah Reader’s Digest edisi Maret 1976. Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia berjudul Anak Perdamaian (Penerbit Kalam Hidup, Bandung, 1974).













peace child bookPeace Child, karya tenar Don Richardson


Suku Sawi, suatu suku mengembara yang sampai dengan awal 1960-an masih hidup dalam keadaan primitif, tinggal pada delapan belas kampung sepanjang beberapa sungai dan anak sungai di belakang Pirimapun, Nieuw Guinea Belanda, bagian selatan. Mereka terkenal sebagai suku kanibal dan pengayau (head-hunter).  Kebudayaan rohani pra-Kristen yang terkenal dari suku Sawi adalah menjalin persahabatan kemudian mengkhianati sahabat dengan mula-mula menggemukkan lalu membunuh dan memakan dagingnya! Yudas yang diperkenalkan Don Richardson pada mereka di awal penginjilannya adalah pahlawan mereka sementara Yesus yang dikhianati Yudas lalu mati di salib adalah sang pecundangnya. Suku Sawi pun sering terlibat perang dengan suku-suku Papua yang lain di lingkungan hidup dengan berbagai sungai dan anak sungai itu. 


Pos pemerintah Belanda pertama didirikan di Pirimapun 1955; kemudian, pemerintah mulai mengadakan perjalanan eksplorasi pertama pemukiman suku Sawi, di antaranya dengan melewati Sungai Kronkel, pertengahan 1950-an.

Suku Auyu tinggal jauh di sebelah timur perkampungan suku Sawi. Bersama suku Sawi, mereka punya mitos tentang kultus kargo yang sama.

don richardson Don Richardson

Don Richardson (lahir 1935) adalah seorang lelaki asal Kanada tamatan Prairie Bible Institute, suatu lembaga pendidikan kependetaan Kristen Protestan, di Alberta, Kanada. Lembaga ini didirikan 1922 dan kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan Kristen terbesar di Kanada, sangat menekankan penginjilan ke luar negeri. Carol Soderstrom dari Amerika Serikat, seorang wanita yang adalah juga tamatan lembaga tadi, kemudian menjadi isteri Don Richardson. Richardson mengambil keputusan untuk menjadi penginjil bagi suku-suku terasing di Nieuw Guinea Belanda 1955, suatu keputusan yang kemudian didukung isterinya. Sebagai persiapan tambahan bagi pekerjaannya di masa depan, Don Richardson memelajari linguistik dan Carol ilmu keperawatan. Juli 1962, pasangan ini bersama Steven, putera mereka yang pertama, mulai tinggal  dan bekerja sebagai keluarga penginjil di antara suku Sawi.

Mitos tentang Dunia Baru

Mitos tentang Dunia Baru adalah suatu contoh lain dari mitos tentang kultus kargo dan berasal dari suku Sawi dan Auyu. Mitos ini dibahas juga dalam suatu disertasi lain tentang kultus kargo di Irian Jaya untuk mendapat gelar doktor filsafat pada Oxford Graduate School oleh Michael L. McDowell MA berjudul The Contextualization of Cargo Cult Beliefs and the Christian Message in Irian Jaya, Indonesia (1994). McDowell adalah seorang dosen pada Sekolah Tinggi Teologia Erikson-Tritt di Irian Jaya.

Interpretasi konflik budaya

Dari mana asal dan manifestasi mitos tentang kultus kargo, khususnya dari suku Sawi dan Auyu? McDowell menjawab mitos tentang kultus kargo kedua suku Papua itu adalah terutama suatu reaksi terhadap kontak budaya mereka dengan orang-orang berkulit putih dari Barat. Menurutnya, pandangan ini bisa disebut interpretasi konflik budaya. Perilaku dan kepercayaan para penganut kultus kargo itu bersifat reaksioner; dengan kata lain, mereka membutuhkan penjelasan tentang realitas suatu bangsa dan suatu kebudayaan yang berbeda dengan mereka sebagai suku yang memiliki kebudayaannya. Sering para misionaris tidak menyadari bahwa mereka dilibatkan dalam gerakan kultus kargo suku-suku Papua tadi. Mitos tentang Dunia Baru dan tokoh ilahi pra-Kristen bernama Sawapacu-Ataphapkon – sering dipisahkan menjadi dua oknum  yang mereka sebut Sawapacu dan/atau Ataphapkon – dari suku Auyu dan Sawi memerikan bagaimana pemerintah Belanda dan para misionaris digabungkan ke dalam mitos mereka sebagai suatu sarana untuk mengabsahkan keberadaan orang-orang berkulit putih itu. Dalam perjumpaan pertama kali, orang-orang berkulit putih sangat ditakuti karena belum pernah mereka melihatnya sebelumnya. Sesudah suku Sawi dan Auyu makin mengenal orang-orang Barat itu, pengaruh kuasa mereka yang unggul atas kuasa kedua suku Papua itu mengakibatkan mereka diterima, dicari, dan diserap ke dalam mitosnya.

peace child1 Suku Sawi

Dalam hubungan dengan pengujian terhadap nubuat-nubuat yang tidak digenapi dari Benny Hinn, mitos tentang kultus kargo dari suku Sawi dan Auyu – yang dipercaya selama ratusan tahun – digenapi melalui kontak budaya mereka dengan orang berkulit putih dari Barat, terutama para misionaris Barat yang tinggal dan bekerja di antara mereka. Tapi yang dikisahkan dari mitos tadi hanyalah bagian yang relevan dengan penggenapan mitos itu.

Penemuan Dunia Baru

Menurut sejarah, semua suku di bumi tinggal di bawah tanah. Ada tempat terbuka yang luas tapi gelap di bawah tanah, tempat setiap orang hidup dalam suatu komunitas.

Suatu hari, Kema dan isterinya pergi ke hutan. Sang isteri menengadah dan melihat sebuah lubang kecil. Lubang itu menuju ke permukaan Dunia Baru. Mereka lalu memperbesar lubang itu supaya bisa ke luar.

Sesudah lubang itu diperbesar, Kema dan isterinya melihat cahaya yang menakjubkan. Cahaya itu memberi mereka perasaan sangat senang.

Tapi ketika mereka melihat Dunia Baru, mereka pingsan. Sesudah siuman, mereka melihat Sawapacu-Ataphapkon. Kehadiran tokoh ilahi itu disertai cahaya yang begitu benderang sehingga pasangan suami-isteri itu pingsan lagi karena mereka terlalu lemah untuk melihatnya.

Kemudian, mereka siuman lagi selama beberapa jam. Lalu, mereka melihat keadaan Bumi yang Baru. Betapa menakjubkan dan indahnya bumi itu!

Mereka melihat Sawapacu dan Ataphapkon. Ataphapkon mengatakan dunia ini dan isinya adalah ciptaannya.

Tapi Kema dan isterinya tidak cukup kuat untuk memandang Ataphapkon karena kemuliaannya yang hebat. Lalu, dia mengajak mereka berdua mendekatinya dan mendengarkan kata-katanya. Dia memerintahkan mereka berdua agar kembali ke tempat asalnya dan mengatakan pada sesama warganya apa yang dia katakan. Sawapacu juga menetapkan suatu hari bagi mereka untuk ke luar dari kegelapan di tempat mereka tinggal.

Mereka diberi batas waktu tujuh hari untuk ke luar dari tempat tinggalnya. Ada rangkaian perintah untuk setiap hari yang harus mereka laksanakan. Hari pertama, pengumuman kepada penghuni bawah tanah; hari kedua, mereka harus mencari dan menyediakan makanan; hari ketiga, mereka harus membunuh semua hewan ternak; hari keempat, mereka harus menanggalkan pakaiannya yang lama dan menggantikannya dengan pakaian yang baru; hari kelima, mereka harus mandi dan mencuci alat-alat yang mereka pakai; hari keenam, mereka harus keluar ke Dunia Baru dan menyanyikan dua lagu; dan, hari ketujuh, mereka akan menerima barang-barang.

Sesudah melaksanakan perintah untuk kelima hari pertama, mereka melaksanakan perintah untuk hari keenam. Mereka bersiap-siap keluar, dipimpin Kema dan isterinya. Kema memperbesar lubang dengan sebatang kayu agar mereka semua bisa keluar. Yang keluar adalah keluarga setiap suku di dunia.

Tapi mereka lupa seekor anjing jantan di bawah tanah. Jadi, Kema kembali melalui lubang, mencari, dan menemukan anjing itu di ujung kampung bawah tanah.

Kema butuh waktu yang lama untuk menemukan anjing itu. Mereka di atas menunggu terlalu lama kembalinya dia dengan anjing itu, menjadi tidak sabar, dan memutuskan untuk menutup lubang ke dunia bawah. Lubang itu ditutup begitu rupa sehingga ia tidak bisa dibuka dari bawah untuk keluar. Akibatnya, Kema dan anjing itu tidak bisa keluar ke Dunia Baru.

Mereka yang sekarang ada di Dunia Baru menghadap Sawapacu-Ataphapkon. Hari itu hari ketujuh; jadi, mereka istirahat dan menantikan pelaksanaan perintah tokoh ilahi itu pada hari tersebut. Untuk istirahat dan sebagai tempat tinggal, mereka membuat tenda-tenda dekat tokoh ilahi itu. Kemudian, mereka memilih Nunas sebagai seorang nabi bagi mereka, dan setiap suku patuh pada hukum-hukum Ataphapkon. Lalu, timbullah keinginan mereka meminta barang-barang pada tokoh ilahi itu. Ataphapkon lalu membuat banyak barang muncul bagi seluruh suku itu: kapak besi, pisau, parang, pakaian, bedil, kapak batu, perubahan kulit, dan mayat. Setiap suku boleh memilih apa pun yang mereka sukai.

Tapi semua suku berkelahi tentang siapa yang akan memilih kematian. Pemberian Ataphapkon yang tidak dipilih suku mana pun adalah perubahan kulit.

Tahun 1955, pemerintah Belanda masuk di kawasan Sungai Kronkel. Mereka mendirikan posnya yang pertama di Pirimapun.

Kali pertana orang-orang Kamur (dari suku Sawi) bertemu orang-orang berkulit putih dari pemerintah Belanda, mereka takut. Mereka belum pernah berjumpa dengan seorang berkulit putih.

Lalu mereka ingat Sawapacu-Ataphapkon. Tahun 1962, Pendeta Don Richardson dari Kanada tiba. Dia diutus ke Irian Jaya untuk membawa Injil dan Firman Allah. Dia membawa suku Sawi dari kegelapan menuju terang. Lalu, suku Sawi menerima Injil – sampai sekarang.

Analogi penebusan

Dengan cara yang aneh, suku Sawi dan Auyu dituntun selama berabad-abad oleh mitosnya tentang kultus kargo. Impiannya akan kelimpahan material yang dianugerahkan Sawapacu-Ataphakpon padanya kemudian digenapi oleh kehadiran orang berkulit putih dari Barat pada abad ke-20. Secara khusus. impiannya akan Dunia Baru atau Bumi Baru dengan keluar dari tempat tinggalnya yang diliputi kegelapan di bawah tanah secara mengherankan mengantipasi tibanya Injil yang kemudian mereka terima. Citra tentang Yesus bisa kita simak dari tokoh ilahi mereka Sawapacu-Ataphapkon dan pelayan-Nya, Don Richardson. Dunia Baru atau Bumi Baru yang terang benderang yang dirindukan leluhur suku Sawi dan Auyu diwujdukan melalui perubahan diri mereka sesudah menjadi pemeluk Kristen.

Bandingkan kecermatan penggenapan impian mitologis kedua suku Papua itu dengan nubuat-nubuat Benny Hinn. Tidak satupun digenapi, bukan? Roh yang menuntun dia bernubuat bukanlah Roh Kudus.

Kuasa apakah yang menuntun hati dan akal budi suku Sawi dan Auyu untuk menciptakan mitos tentang kultus kargo mereka? Mengapa justru orang berkulit putih dari Barat – dan bukan orang Asia, misalnya – yang masuk ke dalam kepercayaan tradisional mereka? Mengapa penantian mereka selama ratusan tahun akan tibanya Dunia Baru atau Bumi Baru ciptaan Sawapacu-Ataphapkon menjadi nyata sesudah terjadi kontak budaya antara mereka dan orang Barat berkulit putih? Mengapa justru Don Richardson, seorang berkulit putih dari Kanada dan sekaligus seorang penginjil, dan bukan Jenderal Inada dari Jepang, Sukarno dari Indonesia, atau Ho Chi Minh dari Vietnam – semuanya orang Asia berkulit “kuning” dan sawo matang – yang diserap ke dalam mitos mereka? Mengapa justru Don Richardson dan bukan salah satu dari ketiga tokoh Asia Timur tenar tadi  yang  menjadi salah satu tokoh utama dalam mitos mereka?

Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Don Richardson dan Michael L. McDowell punya jawaban yang berbeda.

Richardson menjawab bahwa kepercayaan tradisional suku Sawi dan Auyu tadi bisa dijelaskan melalui apa yang dia sebut "prinsip analogi penebusan". Menurut keyakinannya, itulah "[kunci] yang diberikan Allah kepada kami [dia dan isterinya] untuk memasuki hati orang Sawi." Lanjutnya, prinsip ini "menerapkan kebenaran rohani kepada adat setempat." Dia dan isterinya menyaksikan bahwa Allah menyediakan bagi penginjilan masyarakat Sawi dan masyarakat terasing lainnya analogi-analogi penebusan di dalam kebudayaan mereka sendiri. "Analogi-analogi ini merupakan batu loncatan, pintu rahasia yang menjadi jalan bagi Injil untuk masuk ke dalam kebudayaan Sawi dan yang membangkitkan suatu revolusi rohani dan sosial dari dalam."

Tidak semua ahli teologia tentang penginjilan suku-suku terasing sepakat dengan prinsip analogi penebusan tadi. Di antaranya Dr. Michael L. McDowell. Dengan mendasarkan sanggahannya pada Roma 1:18-23, McDowell mengatakan analogi penebusan macam apa pun sudah lenyap dalam suatu ras manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa.

Pengetahuan budaya yang diperoleh dan pilihan budaya

 Terhadap pertanyaan-pertanyaan tadi, McDowell menjawab mitos tentang kultus kargo kedua suku Papua tadi diciptakan berdasarkan pengetahuan budaya yang mereka peroleh. Ini bisa diperoleh melalui lingkungan komunikasi budaya di luar mereka, lingkungan yang bernilai dan bermakna bagi mereka, yang berisi dan mewujudkan impian mitologis mereka.

Tapi pengetahuan budaya yang mereka peroleh, menurut saya, bisa mengaburkan impian atau cita-cita mereka melalui mitos tentang kultus kargo kalau tidak disertai pilihan-pilihan budaya. Melalui seleksi budaya, mereka menetapkan pilihannya, misalnya,  akan kedatangan orang berkulit putih dari Barat, termasuk para misionaris Kristen, dan bukan orang berkulit bukan-putih.

Bagaimana seleksi budaya suku Sawi dan Auyu tadi menuntun mereka melalui mitosnya selama ratusan tahun sebelum mitos itu digenapi sesudah pertengahan abad ke-20 menjadi suatu misteri bagi saya. Yang paling mudah saya katakan adalah bahwa tangan Tuhan yang tidak tampak menuntun mereka selama berabad-abad untuk mengenal dan menjadi pengikut-Nya melalui mitosnya tentang kultus kargo yang melibakan orang berkulit putih dari Barat, khususnya, para misionaris seperti Don Richardson.

Anak Perdamaian

Suatu penemuan yang tidak disangka-sangka dari Don Richardon dari kebudayaan rohani suku Sawi adalah gagasan mereka tentang anak perdamaian. Gagasan ini sudah mereka praktekkan selama ratusan tahun.

Suku Sawi pra-Kristen yang mengagungkan kekerasan berupa pengkhianatan, pengayauan, dan kanibalisme mengakibatkan mereka hidup dengan suku-suku lain dalam suasana saling curiga dan saling siap untuk berperang. Tapi budaya mereka tentang anak perdamaian menunjukkan ketulusan mereka untuk menciptakan perdamaian antara suku-suku yang saling berperang. 

Tradisi anak perdamaian diberlakukan kalau tidak ada jalan lain bagi dua pihak yang saling berperang untuk berdamai. Seorang ayah dari salah satu pihak menyerahkan anak kandungnya sendiri, seorang bayi, kepada wakil pihak lain yang bermusuhan, seorang tokoh lelaki. Seorang lelaki dari pihak yang baru menerima anak itu menyerahkan juga seorang anaknya, juga seorang bayi, kepada lelaki yang baru menyerahkan anaknya. Masing-masing membuat janji lisan yang didengar banyak saksi dari kedua belah pihak bahwa mereka akan mempertahankan perdamaian selama kedua anak itu hidup. Sesudah itu, lelaki dari kedua pihak yang saling menerima dan menyerahkan anaknya sebagai jaminan perdamaian memanggil hadirin dari sukunya untuk meletakkan telapak tangan atas anak perdamaian itu sebagai tanda mereka pun akan ikut menjaga perdamaian di antara kedua pihak.

Pemecahan masalah perang dengan menyerahkan anak perdamaian sebagai jaminan perdamaian macam ini adalah suatu pilihan budaya yang mengherankan. Secara analogis, konsep anak perdamaian ini akan menuntun Don Richardson untuk memperkenalkan Anak Perdamaian lain yang paling unggul dari konsep anak perdamaian suku Sawi: Yesus Kristus.


Tradisi anak perdamaian suku Sawi memang bagus tapi tidak menjamin perdamaian antara dua pihak yang berseteru. Jaminan perdamaian, sekurang-kurangnya, untuk jangka waktu yang lama. Begitu salah seorang anak perdamaian meninggal dunia, perang bisa berkobar lagi. Dengan bahasa yang menjelaskan kesejajaran dan perbedaan makna antara anak perdamaian suku Sawi dan Anak Perdamaian menurut kesaksian Alkitab, Don Richardson mengangkat tradisi anak perdamaian suku itu kepada keagungan ajaran Kristen. Perdamaian mereka akan batal begitu anak perdamaiannya mati. Tapi Anak Perdamaian yang adalah Yesus tetap memberi mereka perdamaian yang kekal karena Dia tidak mati, Dia kekal.

Suku Sawi yang memahami keunggulan Yesus sebagai Anak Perdamaian mengakui bahwa tradisi mereka tentang anak perdamaian adalah yang paling baik yang bisa mereka ciptakan. Tapi sesudah mendengarkan penjelasan Don Richardson tentang Anak Perdamaian yang lain, mereka mengatakan konsep mereka memang yang paling baik tapi tidak memadai.

Kata-Kata Remon

Suatu penemuan mengherankan lain dari kebudayaan rohani pra-Kristen suku Sawi oleh Don Richardson adalah penantian suku Sawi – selama berabad-abad – akan datangnya remon. Remon mirip artinya dengan “regenerasi” atau penjelmaan kembali, seperti “seekor ulat [yang] lolos dari kematian dengan berubah menjadi kupu-kupu, menerobos kepompongnya untuk hidup terus dengan tubuh yang baru, … seekor kadal atau ular [yang] lolos dari kematian dengan menanggalkan kulitnya yang lama.”

Untuk pertama kali, Don Richardson mendengarkan kata remon melalui suatu nyanyian ratapan tradisional seorang ibu yang tua. Sambil menangis, dia menyanyikan suatu nyanyian ratapan tradisional bagi seorang puteranya yang meninggal dunia: “Kata-kata remon! Kata-kata remon! Mengapa ditangguhkan begitu lama? Karena penangguhanmu, kematian telah membawa anakku! Kata-kata remon! Kata-kata remon! Mata kami sudah merah menunggu kedatanganmu! Kata-kata remon! Kata-kata remon! Dari hulukah kamu datang? Atau dari hilir? Kata-kata remon! Kata-kata remon! Lekaslah! Kalau tidak, maut akan membawa kami semua, dan tidak ada seorangpun yang akan tinggal untuk menyambutmu!”

Sekali lagi, konsep remon menunjukkan pengetahuan budaya yang diperoleh suku Sawi berdasarkan seleksi budayanya. Citra tentang remon secara mengherankan sudah menuntun suku Sawi yang merindukan kekekalan hidup selama berabad-abad untuk menemukan jawaban yang memuaskan atas misteri kematian pada Yesus Kristus. Sebagai Pemegang segala kuasa di sorga dan di bumi, Yesus yang sudah bangkit dari kematian dan menang atas kuasa maut memberi jaminan yang pasti akan hidup yang kekal bagi siapa pun yang percaya pada-Nya.

Bagaimana sampai penantian demikian lama suku Sawi akan kembalinya remon melalui imannya pada Yesus bisa digenapi dengan sendirinya? Itu kuasa Tuhan yang sulit saya selami tapi yang memang terjadi.Yang menarik, penantian mereka akan kembalinya remon sudah berlangsung selama masa pra-Kristennya.

Jadi, mitos tentang kultus kargo suku Sawi dan Auyu, konsep budaya spiritual mereka tentang anak perdamaian dan remon yang sudah ada selama berabad-abad secara mengherankan digenapi di abad ke-20. Ini menungguli nubuat-nubuat Benny Hinn yang tidak digenapi.

Suatu penjelasan audiovisual tentang pengalaman penginjilan Don Richardson di Irian Jaya bisa Anda akses melalui Youtube. Kliklah alamat kedua video itu, http://www.youtube.com/watch?v=I1F_zmLYK_w dan http://www.youtube.com/watch?v=CsLXHzIZO_E&feature=related di sini.

Ramalan-Ramalan Fiksi Ilmiah yang Digenapi

Melesetnya nubuat-nubuat Benny Hinn bisa diuji juga dari ketepatan berbagai ramalan terkenal melalui beberapa karya fiksi ilmiah. Karya-karya itu dalam bentuk novel atau film. Bab berikut akan membahas ramalan-ramalan ini dan penggenapannya.

0 komentar: