BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 08 Juli 2010

XI. Bahasa Lidah, Menurut Para Ahli Bahasa dan Psikologi

Ternyata gejala bahasa lidah ditemukan juga di luar kesaksian Perjanjian Baru. Gejala ini tidak luput dari perhatian para ilmuwan, khususnya, ahli-ahli linguistik (ahli-ahli bahasa) dan ahli-ahli psikologi. Sanggahan terhadap penemuan mereka pun ada.

Penelitian Linguistik tentang Glosolalia

Salah satu gejala itu yang menarik perhatian mereka terjadi di Prevorst, Jerman, sekitar pertengahan abad ke-18. Justinius Kerner, seorang ahli kedokteran asal Jerman, masih bisa mencatat urutan-urutan bunyi yang tidak bisa dimengerti yang diucapkan “pecenayang dari Prevorst.” Menurutnya, bunyi-bunyian itu adalah wahyu adialami. Menjelang akhir abad ke-18 di Eropa, barulah kata “glossolia” yang berarti “berbahasa lidah” diucapkan setiap kali seorang mengucapkan serangkaian bunyi yang tidak bisa dimengerti pendengar; tapi pengujarnya mengatakan itu bagian dari suatu bahasa yang tidak diketahui. Berbahasa lidah diamati pada, misalnya, sekte Irvingian dari Inggris, pada ekstase mistis kolektif di Swedia, dan pada seorang pendeta visioner asal Jerman bernama Paulus. Mereka semua tiba-tiba membayangkan bahwa mereka memahami dan berbicara dalam bahasa asing yang sekata pun tidak mereka tahu; meskipun demikian, mereka berbicara dalam bahasa asing ini ketika mereka dalam keadaan kesurupan.

Para ahli linguistik yang mengetahui munculnya glossolalia mengatakan bahwa bahasa lidah adalah hasil yang “tidak normal” dari bahasa. Bahasa tidak normal ini diketahui oleh pengujarnya – secara teknis, disebut glossolalis - ketika dia dalam keadaan normal.

Tidak ketinggalan pula pandangan Wilhelm Grimm (1786-1859), seorang ahli bahasa dan sastra asal Jerman, yang meneliti salah seorang glosolalis terkenal dari Eropa, Santo Hildegard. Bahasa lidah Hildegard didaku sebagai bahasa “ilahi”, tapi ini, menurut Grimm, cuma suatu campuran dari bahasa Jerman dan Latin.

st hildegard Gambar Santo Hildegard

Kasus Mlle Helene Smith dari Jenewa

Banyak kasus orang yang berbahasa lidah di Eropa dicatat. Salah satu yang menimbulkan reaksi berbagai pengamat ditunjukkan menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 oleh seorang gadis muda yang dikenal dengan nama samaran Mlle Helene Smith dari Jenewa, Swis. Dia menarik perhatian ahli-ahli psikologi setempat karena somnambulisme (kondisi suka berjalan dalam keadaan tidur) dan peranannya sebagai perantara alam gaib sementara dalam keadaan kesurupan. Keadaan ini secara khusus menarik perhatian para ahli ilmu jiwa pada zaman itu. Selama dalam keadaan kesurupan, dia mulai “berbahasa lidah”; gejala ini menggugah rasa ingin tahu Theodore Fluornoy, seorang profesor psikologi pada Universitas Jenewa.

Dalam keadaan kesurupan, apa yang dikatakan Mlle Smith? Menurut hasil pengamatan Fluornoy, gadis itu hidup sekaligus dalam dua dunia. Dalam satu dunia, dia mengunjungi planet Mars dan berkomunikasi dengan makhluk-makhluk ruang angkasa. Dalam dunia lain, dia berada dalam suatu petualangan di sebagian India. Sebagai akibatnya, Fluornoy mengidentifikasi dan mencatat dua “bahasa,” bahasa Marsian (“penghuni” Mars) dan Hindi (atau Sanskritoid). Karena dia bukan seorang ahli bahasa Hindi, dia meminta bantuan beberapa rekan sekerjanya pada Universitas Jenewa, termasuk ahli linguistik tenar sedunia sekaligus seorang ahli bahasa Asia Timur, M. Ferdinand de Saussure (1857-1913). Kejadian-kejadian ini antara 1895 dan 1898.

M. Ferdinand de Saussure, linguis tenar itu

ferdinand de saussure1
Untuk mempermudah pemahaman pembaca yang tidak mengerti bahasa Sanskrit, de Saussure mengumpamakannya sebagai bahasa Latin (yang dimengerti pembaca). Linguis (pakar linguistik) tenar ini lalu datang pada dua kesimpulan penting. Pertama, naskah yang direkam dari ucapan Mlle Smith tidak mencampuradukkan “dua bahasa.” Sesedikit apa pun kata-kata yang mirip bahasa Latin, tidak ada sekurang-kurangnya bahasa ketiga, seperti Yunani, Rusia, atau Inggris, yang menyela bahasa Hindi. Kedua, naskah itu tidak menunjukkan sesuatu pun yang bertentangan dengan bahasa Latin. Kembali ke Sanskrit sebagai bahasa asli yang digunakan dalam bahasa lidah Smith: dia tidak pernah memakai konsonan f dalam ujarannya. Huruf f memang tidak dikenal dalam bahasa Sanskrit.

Absennya konsonan f membingungkan Flournoy. Bagaimana mungkin Mlle Helene Smith yang tidak pernah berbahasa Sanskrit dalam kehidupan normal bisa mengabaikan huruf mati ini ketika dia dalam keadaan kesurupan berbicara dalam bahasa Sanskrit?

Cerita tentang Mlle Smith dan huruf f yang hilang kemudian diketahui seorang linguis lain yang juga ahli bahasa Sanskrit pada Universitas Jenewa: Profesor Victor Henry. Tapi Henry membatasi fokusnya pada penafsiran bahasa Marsian yang juga diucapkan Mlle Helene Smith. Henry menduga bahasa Marsian itu hanya suatu “karikatur kekanak-kanakan dari bahasa Perancis” (yang dimengerti gadis itu); selain itu, bunyi ujaran bahasa Marsian hanyalah suatu reproduksi yang tidak lengkap dari bunyi ujaran bahasa Perancis.

Kesimpulan tentang glosolalia Mlle Helene Smith

Apa kesimpulan Profesor Victor Henry tentang glossolalia Mlle Helene Smith? Bahasa Marsian yang dipakainya berisi kata-kata yang “diciptakan” dan “tidak berarti”; sesungguhnya, kata-kata bahasa ini berasal dari kata-kata lain. Menurutnya, bahasa glosolalis (pengujar glosolalia) adalah suatu bahasa yang dimotivasi, bahasa yang didorong oleh alasan atau kepentingan tertentu.

Henry yang mencoba menjelaskan hakekat bahasa – termasuk bahasa lidah – bertanya apakah bahasa, menurut hakekatnya, bersifat disadari atau tidak disadari pemakainya. Dia menjawab bahwa “bahasa adalah produk kegiatan yang tidak disadari dari seorang yang sadar.” Lanjutnya: “Kalau bahasa adalah suatu gejala yang disadari, mekanismenya tidak disadari.”

Dalam kasus Mlle Helene Smith, keadaan kesurupannya menunjukkan mekanisme (suatu cara atau sistem untuk mencapai sesuatu) yang tidak dia sadari karena dia dalam keadaan kesurupan. Sementara itu, dia sendiri yang berbahasa lidah itu sadar; dengan kata lain, dia tidak tidur, tidak pingsan, tidak mati ketika dia berbahasa lidah.

Apakah mekanisme yang tidak disadari memampukan mereka yang berbahasa lidah menciptakan suatu bahasa? Tidak, tegas Profesor Henry. “Manusia tidak mampu menciptakan suatu bahasa kalau dia mau: dia hanya bisa berbicara . . . melalui ingatannya, entah ingatan jangka pendek, jangka menengah, atau dari leluhur pertama manusia.”

Ingatan bahasa tersebut bisa menghasilkan bahasa lidah yang tidak bisa dimengerti. Tapi ini tidak berarti bahasa lidah tanpa ciri-ciri bahasa manusia. Dengan kata lain, bahasa lidah yang dicirikan oleh kata-kata yang “baru” bersifat linguistik (berkaitan dengan bahasa) atau antilinguistik (bertentangan dengan kaitannya dengan bahasa), tapi tidak pernah bersifat a-linguistik (tidak berkaitan dengan bahasa).

Pemakaian aliterasi, asonansi, rima, dan pola-pola irama

Suatu ciri utama lain dari produksi glosolalik adalah pemakaian aliterasi, asonansi, rima, dan pola-pola irama. Ini semua adalah cara atau sistem yang mencapai pikiran simbolik. Aliterasi adalah penggunaan huruf atau bunyi yang sama pada awal kata-kata yang berdekatan. Suatu potongan kalimat suatu nyanyian kanak-kanak di suatu saluran televisi Indonesia tahun 1980-an berisi suatu contoh aliterasi: “Kuku kaki kakek kaku.” Setiap kata yang saling berurutan diawali satu huruf atau bunyi: k. Selain aliterasi, bahasa lidah sering melibatkan asonansi dan rima. Asonansi adalah efek yang diciptakan ketika dua suku kata dalam kata-kata yang berdekatan punya bunyi vokal yang sama, tapi konsonan yang berbeda atau konsonan yang sama tapi vokal yang berbeda. Contoh: karut-marut dan sedu-sedan. Rima adalah suatu kata yang mempunyai bunyi atau akhir yang sama dengan bunyi yang sama dari kata yang lain. Rima lazim dalam penulisan sajak atau syair. Frasa tent’ram, hening, misalnya, berima dengan frasa cerlang, bening karena kedua-duanya berakhir dengan bunyi yang sama: -ng. Semua mekanisme pikiran simbolik ini mengacu pada puisi. Dalam hubungan dengan puisi, kecenderungan ke arah pensyairan (versifying tendency) sangat menonjol dalam diri para glosolalis dan umumnya pada para nabi dan pecenayang. Bisa kita simpulkan bahwa suatu sistem simbolik seperti wacana glosolalis, dibandingkan dengan bahasa, memperkuat “sintaks” (aturan-aturan tatabahasa), seperti yang kita pahami dalam arti yang luas, tapi sering mengabaikan “semantik” (arti kata, frasa atau sistem).

Dua contoh bahasa glosolalia abad ke-20

Dua contoh bahasa glosolalia abad ke-20 akan memperjelas produksi glosolalik tadi. Yang pertama dikutip dari The Cambridge Encyclopedia of Language (ed. David Crystal); yang kedua dari sumber lain. Karena ditulis dalam ejaan bahasa Inggris, gabungan huruf sh dan ee masing-masing Anda baca sebagai sy dan i, sesuai ejaan Indonesia.

Contoh pertama: “Paka bante rina sokuntare mare paka tore moti shalara tamere pakashara merime.” Contoh kedua: “Asaria isa asaria ari mashetee sadabada vena amina gotoya menda meshela mosha nami kitoro ma. . . ..”

Tabel berikut meringkaskan aliterasi dan asonansi kedua bahasa lidah tadi.

ALITERASI DAN ASONANSI BAHASA LIDAH SATU DAN DUA
Bahasa lidah satu Bahasa lidah dua
Aliterasi           Asonansi Aliterasi               Asonansi
paka, paka,           mare-tore
pakashara
asaria, asaria,            vena-menda
ari, amina
moti, merime      bante-tamere
menda, mashetee,     asaria-isa
meshela, mosha,
ma
                         shalara-tamere
                                  gotoya-mosha
                   shalara-pakashara
                        mashetee-sadabada

Untuk mempermudah pemahaman Anda tentang rima, kami menulis kembali kedua kalimat glosolalik tadi dalam bentuk bait. Arti kata kedua kalimat tadi tidak kami pahami. Meskipun demikian, ada pola irama yang kentara kalau kedua kalimat tadi disusun dengan cara tertentu. Cara ini bersifat sukarela. Perimaan (rhyming) ditandai huruf; setiap huruf yang sama menandakan akhir bunyi ujaran yang sama.

Paka bante rina a
sokuntare mare b
paka tore moti c
shalara tamere b
pakashara merime b
 
Asaria isa a
asaria ari b
mashetee b
sadabada vena a
amina gotoya a
menda meshela a
moha nami b
kitoro ma b

Bunyi-bunyian tanpa arti

Anggap saja arti kedua kalimat glosolalik tadi Anda pahami dan Anda syairkan dalam bentuk-bentuk bait demikian. Ada tatabahasanya. Tekanan berat dan ringan dari suku kata dan intonasi kalimat Anda tahu juga. Dalam kedua bentuk tadi, Anda yang mengucapkannya dalam bentuk syair akan merasakan kualitas puitisnya. Kualitas ini diperkuat pola rima kedua syair tadi.

Meskipun kedengaran puitis, kedua kalimat glosolalik yang disyairkan tadi sesungguhnya bunyi-bunyian tanpa arti yang diutak-atik berdasarkan bahasa manusia. Jelas, kedua-keduanya bukan bahasa sorgawi.

Penelitian Linguistik Abad ke-20 dan ke-21 tentang Glosolalia

Di abad ke-20 dan awal abad ke-21, glosolalia diperkirakan melibatkan antara 140 juta dan 370 juta orang Kristen di seluruh dunia. Angka ini menunjukkan bahwa sekitar 20 persen orang Kristen – jumlah total pemeluk Kristen sedunia (termasuk Katolik dan Kristen Ortodoks) sekitar 2 miliar – terlibat dalam glosolalia. Jumlah ini makin meningkat setiap tahun.

Suatu obyek penelitian para linguis

Karena ada hubungannya dengan bahasa, glosolalia menjadi suatu obyek penelitian para linguis (ahli linguistik) abad ke-20. Glosolalia mencakup suku-suku kata yang membentuk contoh-contoh glosolalia yang secara khas tampak sebagai pengaturan kembali tanpa pola dari fonem-fonem bahasa primer atau induk orang yang mengucapkan suku-suku kata itu. (Suatu fonem adalah seperangkat satuan-satuan paling kecil dari ujaran dalam suatu bahasa yang membedakan satu kata dari kata yang lain. Misalnya, t dalam tali dan g dalam gali mewakili dua fonem yang berbeda.) Jadi, glosolalia orang berbahasa Jawa, Bugis, dan Biak (di Papua) kedengaran sangat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, tapi glosolalia mereka masing-masing mirip secara samar-samar dengan bahasa Jawa, Bugis, dan Biak. Banyak linguis umumnya menganggap kebanyakan glosolalia kekurangan semantik, sintaks, atau morfologi (bentuk-bentuk kata) yang bisa dikenal.
Apa definisi linguistik tentang bahasa lidah? Suatu definisi mengatakan glosolalia adalah “perilaku ujaran tidak biasa yang dilembagakan sebagai suatu upacara religius oleh banyak komunitas religius Barat dan non-Barat.”
 
Glosolalia bukan suatu praktek unik agama Kristen

Penelitian-penelitian masa kini menunjukkan bahwa glosolalia bukan suatu praktek unik agama Kristen. Bahasa lidah sudah dipraktekkan sejumlah besar agama penduduk asli non-Kristen di berbagai belahan dunia. Ia ditemukan di antara orang-orang Inuit (Eskimo), Saami (Lapps), dalam upacara-upacara pemanggilan arwah-arwah di Jepang, di antara dukun-dukun Etiopia, dan dan dalam berbagai roh agama Voodoo di Haiti. Glosolalia dalam agama-agama non-Kristen ada juga di Malaysia, Indonesia, Siberia, kawasan Kutub, China, Jepang, Korea, Arabia, Burma (Myanmar), dan dalam agama-agama suku di Afrika.

Beberapa Peneliti Glosolalia

Entah dalam lingkungan Kristen atau non-Kristen, glosolalia sudah diteliti selama bertahun-tahun oleh para linguis profesional. Mereka mencakup William J. Samarin, Felicitas D. Goodman, John P. Kildahl (seorang ahli psikologi) , Eugene A. Nida, dan W.A. Wolfram.

William J. Samarin

Suatu penelitian lebih dari sepuluh tahun tentang glosolalia dari perspektif linguistik dilakukan Profesor William J. Samarin dari Jurusan Linguistik Universitas Toronto, Kanada. Riset Samarin sangat mendalam dan cermat. Dia menolak pandangan bahwa glosolalia adalah xenoglosia. Dia menyimpulkan bahwa glosolalia adalah suatu “bahasa semu.” Dia mendefinisikan glosolalia sebagai “ucapan celoteh yang tidak bisa dipahami yang memamerkan kemiripan bunyi ujaran buatan dengan bahasa, tanpa memiliki susunan bahasa yang tertib dan konsisten dan yang tidak berasal secara sistematik dari atau dalam kaitan dengan bahasa yang diketahui.”

Beda antara bahasa manusia dan bahasa lidah diperjelas Samarin dengan cara yang lain. Manusia memakai bahasa untuk berkomunikasi, tapi glosolalia tidak dipakai untuk berkomunikasi secara wajar atau secara alami dengan manusia. Karena itu, dia menyimpulkan, bahasa lidah bukanlah “suatu contoh bahasa manusia karena ia tidak diatur dari dalam dirinya dan tidak berkaitan secara sistematis dengan dunia yang manusia pahami.”

Khususnya, tentang bahasa lidah yang dipakai Gereja Pentakosta? Profesor Samarin mendefinisikan glosolalia Pentakostal sebagai “ujaran manusia yang tanpa arti tapi yang tersusun secara fonologis [menurut bunyi ujaran], dipercaya pengujarnya sebagai suatu bahasa yang benar tapi yang tidak memiliki kemiripan sistematis dengan bahasa alami mana pun, entah masih dipakai atau tidak dipakai lagi.”

Felicitas D. Goodman

Penelitian linguistik lain dilakukan oleh Felicitas D. Goodman, seorang wanita yang adalah seorang ahli antropologi psikologis dan linguis. Dia membatasi penelitiannya pada suatu cabang linguistik yang disebut linguistik komparatif, ilmu bahasa yang melakukan perbandingan.

felicitas d. goodman Felicitas D. Goodman

Secara khusus, dia melakukan perbandingan gejala bahasa lidah antara berbagai kelompok religius. Untuk itu, dia memelajari sejumlah komunitas Pentakostal di AS, Laut Karibia, dan Meksiko. Komunitas ini berbahasa Inggris, Spanyol, dan Maya (suatu bahasa Indian). Dia lalu membandingkan penemuannya dengan catatan-catatan tentang upacara-upacara non-Kristen dari Afrika, Kalimantan, Indonesia, dan Jepang. Dia mempertimbangkan struktur segmental (seperti bunyi, suku kata, dan frasa) dan unsur-unsur supra-segmental (irama, tekanan, dan intonasi). Kesimpulannya? Tidak ada perbedaan antara apa yang dipraktekkan oleh orang-orang Protestan Pentakosta dan pengikut-pengikut agama lain.

Apa pandangannya tentang hubungan antara keadaan kesurupan dan glosolalia? “Hubungan antara keadaan kesurupan dan glosolalia sekarang diterima oleh banyak periset sebagai suatu asumsi yang betul.”

Tentang cara bahasa lidah modern (abad ke-20 dan awal abad ke-21) dikuasai: diilhami atau dipelajari? Goodman menyimpulkan juga bahwa glosolalia “sebenarnya adalah suatu perilaku yang dipelajari, … entah secara tidak sadar atau terkadang secara sadar.” Sebelumnya, peneliti-peneliti lain sudah menunjukkan bahwa pelajaran langsung diberikan terhadap cara “berbahasa lidah,” yaitu, dengan melibatkan mereka yang belajar ke dalam latihan glosolalia.

Penelitian-penelitian linguistik lain menyingkapkan fakta yang menggegerkan tentang hubungan bahasa lidah dengan upacara-upacara religius non-Kristen. Sesungguhnya, sudah ditemukan bahwa “berbahasa lidah” yang dipraktekkan di gereja-gereja Kristen dan individu-individu Kristen sama dengan bahasa-bahasa mantra atau jampi-jampi dari mereka yang mempraktekkan Voodoo. Voodoo – diucapkan sebagai “vudu” - adalah suatu agama yang dipraktekkan terutama di Haiti, Laut Karibia, dan melibatkan sihir dan guna-guna.

John P. Kildahl

John P. Kildahl, seorang ahli pisokologi dan teologia, melakukan penelitian psikologi tentang glosolalia tahun 1972. Apa kesimpulannya dari suatu sudut-pandang psikologi? “… ujaran-ujaran glosolalik yang diilhami secara religius mempunyai ciri-ciri umum yang sama dengan ci ri-ciri dari ujaran-ujaran glosolalik yang tidak diilhami.” Senada dengan penemuan Goodman, Kildahl mengatakan glosolalia sesungguhnya adalah “suatu gejala manusia, tidak terbatas pada agama Kristen, dan tidak terbatas juga pada perilaku religius.”

john p. kildahlBuku John P. Kildahl yang membahas bahasa lidah atau glosolalia dari sudut-pandang psikologi. 

Eugene A. Nida
Salah seorang peneliti masa awal (tahun 1960-an) glosolalia adalah Eugene A. Nida. Linguis ini memberikan suatu daftar alasan-alasan yang rinci tentang mengapa glosolalia tidak mungkin adalah bahasa manusia. Maksudnya, bahasa lidah tidak kedengaran seperti bahasa manusia karena ciri-cirinya tidak atau sulit dikenal.

eugene a. nida Eugene A. Nida

W.A. Wolfram

Suatu penelitian masa awal yang lain dilakukan W. A. Wolfram, seorang linguis, pada tahun 1966. Wolfram menyimpulkan juga bahwa bahasa lidah kekurangan unsur-unsur dasar bahasa manusia sebagai suatu sistem komunikasi yang utuh.

Sanggahan terhadap Penelitian Linguistik tentang Glosolalia

Sanggahan terhadap hasil-hasil penelitian tentang bahasa lidah dari sudut-pandang linguistik ada. Sanggahan ini tentang sifat unik bahasa lidah, kondisi kejiwaan glosolalis, apakah glosolalis dipengaruhi hipnotisme atau tidak, dan apakah bahasa lidah dipelajari atau tidak.

Ada praktisi glosolalia yang tidak sepakat dengan hasil penemuan para linguis yang mengatakan mereka berbicara hanya dalam bahasa manusia. Misalnya, Ralph Harris memerikan pada tahun 1973 tujuh puluh lima kejadian ketika ujaran-ujaran glosolalik tidak dipahami pengujarnya tapi dipahami orang lain. Jadi, Harris ingin mengatakan bahasa lidah unik, suatu kleim yang masih meragukan.

Sanggahan lain tentang kondisi kejiwaan glosolalis. Pada tahun 1927, George Cutten (seorang ahli psikologi) memerikan para glosolalis sebagai orang-orang dengan kemampuan mental yang rendah, yang sakit jiwa. Dia berasumsi mereka menderita skizofrenia dan histeria.

Akan tetapi, asumsi Cutten tidak didukung bukti-bukti empiris, fakta-fakta di lapangan. Suatu penelitian statistik tahun 2003, diterbitkan dalam jurnal religius Pastoral Psychology, menyimpulkan bahwa, di antara 991 rohaniwan evangelis lelaki yang dipakai sebagai sampel-sampel, glosolalia dihubungkan dengan ekstroversi yang stabil. Ini bertentangan dengan beberapa teori dan sama sekali tidak berhubungan dengan penyakit jiwa.

Bagaimana tentang pandangan bahwa glosolalia adalah hasil hipnosis oleh orang lain? Tidak benar, tapi yang diduga memainkan peranan dalam bahasa lidah adalah hipnosis atas diri sendiri (self-hypnotism).

Lalu, apakah bahasa lidah dipelajari atau tidak? Umumnya, dipelajari. Sejumlah penelitian tahun 1969 dan 1972 tiba pada kesimpulan bahwa glosolalia adalah suatu “perilaku yang dpelajari.” Perilaku apa yang dipelajari? Kemampuan untuk menghasilkan ucapan-ucapan mirip bahasa. Ini baru sebagian penjelasan, tapi penjelasan ini bertahan terhadap banyak ujian.

Pemula bisa dilatih untuk menghasilkan ucapan-ucapan glosolalik. Satu eksperimen dengan mahasiswa-mahasiswa yang belum lama kuliah menemukan bahwa 20 persen berhasil sesudah mendengarkan suatu sampel glosolalia selama 60 detik. Kemudian, 70 persen berhasil sesudah latihan.

Penemuan-penemuan ini mengarah pada hipotesis bahwa ujaran-ujaran glosolalik adalah tindakan-tindakan yang diarahkan oleh tujuan. Dengan kata lain, tindakan-tindakan itu bukan kejadian-kejadian di luar kemauan atau kontrol glosolalis.

Ringkasan

Ringkas kata, apa pokok-pokok dari glosolalia, menurut pandangan para linguis dan penyanggahnya? Ada tujuh.

Pertama, para linguis mengatakan glosolalia tidak unik bagi agama Kristen. Glosolalia adalah suatu gejala universal. Kasus Mlle Helene Smith, glosolalia yang dipraktekkan juga oleh sejumlah besar agama-agama penduduk asli non-Kristen di berbagai belahan dunia, dan kesamaan ujaran-ujaran glosolalia Kristen dan non-Kristen dalam bahasa mantra atau jampi agama Voodoo membantah dakuan orang Kristen pendukung glosolalia bahwa ia unik, hanya monopoli agama Kristen aliran Benny Hinn dan sejenisnya. Pendek kata, gejala berbahasa lidah ada dalam pengalaman religius atau spiritual umat manusia, Kristen dan non-Kristen.

Kedua, glosolalia bukan xenoglosia, bukan bahasa sorgawi, bukan bahasa malaikat, bukan bahasa yang tidak ada duanya di dunia. Pada dasarnya, glosolalia adalah suatu hasil utak-atik yang serampangan atau acak dari bahasa manusia yang mengakibatkan bahasa lidah ini kedengaran seperti bahasa asing. Glosolalia adalah suatu bahasa semu; tidak bisa diciptakan manusia sebagai bahasa manusia sebagai bahasa terbaru atau unik; hasil tidak normal dari bahasa manusia; berasal dari bahasa Latin atau bahasa lain; berasal dari bahasa induk glosolalis; campuran dari bahasa Jerman dan Latin; bukan bahasa baru karena ada aturan-aturan tatabahasanya sendiri tapi mengabaikan arti kata, frasa atau sistem; kekurangan aturan tatabahasa, arti (kata dan frasa), dan bentuk-bentuk kata yang bisa dikenal; ujaran manusia tanpa arti; “karikatur kekanak-kanakan dari bahasa Perancis”; suatu reproduksi yang tidak lengkap dari bunyi ujaran bahasa Perancis; dan kekurangan unsur-unsur dasar dari bahasa manusia. Pendek kata, sumber glosolalia adalah bahasa manusia, bukan bahasa unik dari sorga atau dari malaikat.

Ketiga, kalau bahasa lidah adalah bahasa sorgawi yang tidak bisa dimengerti atau yang tidak boleh diucapkan manusia (bandingkan dengan 2 Kor.12:4) sementara penelitian linguistik menemukan dengan gamblang kualitas puitis bahasa lidah (melalui pemakaian aliterasi, asonansi, rima, dan pola irama yang terbentuk), maka kleim tentang bahasa sorgawi dan penemuan linguistik itu bertabrakan. Bagaimana bisa jadi glosolalia sebagai bahasa sorgawi bisa punya ciri-ciri puitis tadi dari bahasa duniawi? Bagaimana bisa terjadi bahasa sorgawi glosolalia yang tidak bisa dan tidak boleh dimengerti manusia malah bisa dimengerti dengan gamblang oleh manusia karena melihatkan kualitas putitis tadi? Jelas, bahasa lidah yang didaku sebagai bahasa sorgawi sebenarnya adalah bahasa manusia sesudah diutak-atik.

Keempat, para linguis menemukan kasus yang di dalamnya gejala bahasa lidah belum sepenuhnya dipahami karena mereka belum memahami proses-proses dalam akal budi (mind) manusia di balik gejala glosolalia. Kasus Mlle Helene Smith yang meskipun tidak tahu bahasa Sanskrit secara tepat tidak memakai konsonan f ketika berbahasa lidah dalam keadaan kesurupan, keadaan yang dikendalikan oleh alam taksadar dari akal budinya. Gejala yang membingungkan ini diduga berasal dari alam taksadar akal budi manusia. Diduga kecermatan Mlle Smith dalam mengabaikan pemakaian huruf f ketika berbahasa lidah dengan memakai bahasa Hindi berasal dari mekanisme yang tidak disadari dari akal budinya. Tapi dia dalam keadaan sadar ketika mengucapkan glosolalianya. Penelitian masa kini tentang proses-proses dalam otak dan psikologis manusia diharapkan bisa menolong para linguis memahami lebih baik glosolalia yang disertai keadaan kesurupan pengujarnya.

Kelima, glosolalia adalah bahasa yang dimotivasi, yang didorong oleh alasan atau kepentingan tertentu. Ada tujuannya. Pernyataan ini membantah spontanitas dari bahasa lidah, apalagi dakuan bahwa bahasa lidah di luar kendali pengujarnya karena dia tengah diurapi Roh Kudus.

Keenam, glosolalia adalah suatu perilaku yang dipelajari. Ia karena itu tidak bersifat spontan.

Ketujuh, korelasi antara bahasa lidah dan keadaan kesurupan adalah suatu asumsi yang tepat. Seperti yang dikatakan Profesor Victor Henry di atas, bahasa lidah diucapkan seorang pengujar yang berada dalam keadaan sadar. Tapi mekanisme yang “melahirkan” bahasa lidah tidak disadarinya. Mekanisme yang tidak disadari ini mengacu pada keadaan kesurupan glosolalis. Asumsi ini berarti ujaran-ujaran glosolalik yang disertai keadaan kesurupan pengujarnya tidak berasal dari sorga tapi dari alam taksadar di dalam akal budi glosolalis.

0 komentar: