BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Jumat, 09 Juli 2010

XII. Bahasa Lidah, Menurut Sains Perilaku dan Etnologi

Glosolalia tidak saja dikaji dari sudut-pandang linguistik dan psikologi. Ia diteliti juga dari perspektif ilmu perilaku (behavioral science) berdasarkan penelitian etnologis. Hasil penelitian salah satu di antaranya disajikan secara ringkas dalam bab ini.

Ilmuwan-ilmuwan sains perilaku sudah melakukan riset yang luas tentang glosolalia. Dalam banyak hal, mereka sepakat bahwa kuasa-kuasa adialami (supernatural) tidak diperlukan untuk menjelaskan bahasa lidah. Ini diterbitkan George J. Jennings melalui artikelnya, “Behavioral Science Research on the Nature of Glossolalia” dalam edisi September 1968 Journal of the American Scientific Affiliation. Artikelnya barangkali adalah salah satu pembahasan ilmiah paling lengkap tentang glosolalia.

Tujuh Kesimpulan Jennings tentang Glosolalia

Apa kesimpulan-kesimpulan penelitian etnologis Jennings tentang glosolalia? Ada tujuh. Pandangan alkitabiah tentang ketujuh kesimpulan ini ditambahkan, di mana perlu.

Pertama, glosolalia adalah suatu gejala yang tersebar luas dan kuno dari kebanyakan masyarakat, terjadi paling sering dalam hubungan dengan agama dan tidak bersumber pada Alkitab. Gejala ini dipraktekkan kultus Peyoti di antara suku-suku Indian di Amerika Utara, suku Indian Haida di Baratlaut Pasifik (AS), dukun-dukun di Sudan (Afrika Utara), kultus Syango di Pantai Barat Afrika, kultus Syago di Trinidad (Laut Karibia), kultus Voodoo di Haiti, penduduk asli Amerika Selatan dan Australia, penduduk asli kawasan kutub di Amerika Utara dan Asia bagian Utara, dukun-dukun di Tanahhijau, suku-suku Dayak di Kalimantan, kultus Zor di Etiopia (Afrika Utara), dukun-dukun Siberia, suku Indian Cako di Amerika Selatan, suku Kuranderas di Pegunungan Andes (Amerika Selatan), suku Kinka di Sudan Afrika, dukun-dukun Thonga di Afrika, dan rahib-rahib Tibet. Jelaslah, kita tidak bisa menyamakan glosolalia yang dipraktekkan agama-agama non-Kristen tadi dengan karya Roh Kudus.

Kedua, glosolalia bisa terjadi sebagai suatu keadaan yang lebih luas dari kondisi histeris, disosiatif (tentang pikiran bahwa dua orang atau benda terpisah dan tidak saling berhubungan), atau kesurupan. Glosolalia orang Kristen yang disertai keadaan histeris, disosiatif, atau keadaan kesurupan tidak bersumber pada Alkitab. Semua kondisi ini tidak sekalipun disebutkan dalam glosolalia yang dialami pada perayaan Pentakosta di Yerusalem.

Ketiga, glosolalia tidak perlu berhubungan dengan tipe-tipe kepribadian yang khusus. Semua orang dengan bermacam-macam jenis kepribadian bisa mengalaminya. Kesimpulan ini tidak mendukung kleim bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang bisa berbahasa lidah, suatu bahasa sorgawi, menurut sekte-sekte Kristen tertentu.

Keempat, glosolalia bisa merupakan perilaku yang menyimpang karena keabnormalan akal budi. Kalau keabnormalan akal budi mengacu pada penyakit jiwa di balik glosolalia, dugaan ini tidak didukung hasil-hasil penelitian lain. John Kildahl mengatakan, dari sudut-pandangan psikologi, glosolalia tidak perlu adalah suatu gejala sakit jiwa karena mereka yang berbahasa lidah kurang menderita stres. Tapi mereka tampak mempunyai krisis lebih banyak dalam kehidupannya.

Kalau seorang glosolalis Kristen mengalami keabnormalan akal budi dalam arti sakit jiwa, dia menimbulkan berbagai pertanyaan tentang perilakunya yang menyimpang pada kita. Pada intinya, sakit jiwa mengacu pada kekacauan jiwa (psychiatric disorder), irrasionalitas. Ini bisa punya banyak arti. Apakah dia mengalami keadaan sinting (insanity), suatu kekacauan jiwa yang mengakibatkan penderitanya tidak punya kompetensi yang sah atau tidak bisa bertanggung jawab? Atau apakah dia menderita psikosis (psychosis)? Ini suatu kekacauan jiwa yang mengakibatkan penderita kehilangan kontak dengan realitas yang ditandai khayalan, halusinasi, inkoherensi (kekaburan atau kekacauan pikiran), dan persepsi yang rusak atau tidak utuh tentang realitas. Atau apakah dia secara khusus menderita skizofrenia, suatu kekacauan jiwa yang ditandai keadaan emosinya yang tidak stabil, keterpisahannya dari realitas, dan penarikan dirinya dari realitas lalu masuk ke dalam realitas di dalam dirinya sendiri? Atau apakah dia secara khusus juga menderita mania, suatu kekacauan jiwa yang dicirikan oleh kegiatan jasmani yang berlebihan, gagasan-gagasan yang berubah-ubah secara cepat, dan perilaku impulsif (spontan, cenderung bertindak berdasarkan dorongan batin yang timbul tiba-tiba)? Atau apakah dia menderita paranoia, suatu kekacauan jiwa yang melibatkan khayalan yang disistematisasi, biasanya tentang pengejaran oleh orang lain? Kalau glosolalis Kristen itu mengalami salah satu dari beberapa macam kekacauan jiwa ini, dia mengalami kondisi jiwa yang menunjukkan irrasionalitas (kondisi kurangnya penalaran, pikiran logis, kejernihan berpikir, pikiran realistik).

Apakah ada contoh atau model glosolalis macam ini dalam Alkitab? Tidak ada.

Pada hari raya Pentakosta di Yerusalem ketika Roh Kudus memampukan para rasul berbicara dalam berbagai bahasa dan dialek, memang ada yang menyindir bahwa mereka “sedang mabuk oleh anggur manis” (Kis 2:13). Dengan kata lain, mereka diejek sebagai sudah minum anggur manis, sejenis minuman keras, terlalu banyak sehingga mereka kehilangan kendali atas perilaku, gerak tubuh, dan ucapannya. Kehilangan kendali seperti ini bukan suatu tanda kekacauan jiwa yang bisa berlangsung lama melainkan suatu perubahan sementara selama ada pengaruh mabuk anggur manis itu. Begitu pengaruhnya hilang, mereka pasti akan kembali “normal”; pikiran jernih, logis, rasional, realistik mereka akan kembali. Bukti bahwa mereka tidak mabuk oleh alkohol adalah ketika Petrus bangkit berdiri dengan kesebelas rasul itu dan membantah mereka tengah mabuk. Mengapa tidak mabuk? Anggur manis yang disindir sudah membuat mereka mabuk itu baru akan dihidangkan pukul sembilan sementara mereka sudah dipenuhi Roh Kudus sebelum pukul sembilan. Perhatikan betapa realistiknya jawaban Petrus; pikiran logis, rasional, waras, jernihnya “bekerja”. Petrus yang dipenuhi Roh Kudus bukan seorang rasul yang tengah menunjukkan sakit jiwa, kekacauan jiwa apa pun. Kesehatan mental Petrus menunjukkan juga koherensi (kejelasan, kejernihan berpikir) ketika dia mengutip sejarah, yaitu nubuat nabi Yoel (Kis 2:17-21). Bacalah terus Kisah Para Rasul 2 dan Anda akan menemukan bahwa Petrus dan kesebelas rasul itu bukan orang gila karena tengah diurapi Roh Kudus.

Bahasa lidah atau bahasa roh bisa ditafsirkan oleh orang-orang tidak beriman sebagai suatu tanda orang gila kalau diucapkan serentak secara beramai-ramai. Ini ditulis Paulus dalam 1 Korintus 14:22-23: “Karena itu karunia bahasa roh adalah tanda … untuk orang yang tidak beriman …. Jadi, kalau seluruh Jemaat berkumpul bersama-sama dan tiap-tiap orang berkata-kata dengan bahasa roh, lalu masuklah orang-orang luar atau orang-orang yang tidak beriman, tidakkah akan mereka katakan, bahwa kamu gila?”

Lain halnya kalau seluruh Jemaat bernubuat dan didengar orang-orang yang tidak beriman atau orang baru. Mereka yang mendengarkan nubuat-nubuat itu akan diyakinkan dan mereka menyelidikinya lalu mengaku bahwa Allah memang hadir di tengah-tengah Jemaat (1 Kor 14:22-25).

Maka, kalau bahasa lidah yang diucapkan seorang glosolalis Kristen menunjukkan kekacauan jiwanya, kalau dia dan para glosolalis lain mengucapkan bahasa lidah serentak sehingga mereka dikira orang gila oleh orang luar, ini bukan bahasa yang berasal dari Roh Kudus. Ini bahasa dari roh atau kuasa yang lain.

Lalu, bagaimana dengan pengamatan John Kildahl bahwa mereka yang berbahasa lidah tampak mengalami krisis lebih banyak dalam kehidupannya? Ini bisa berarti berbahasa lidah menjadi suatu sarana katarsis dari krisis hidup mereka. Katarsis bisa berarti kelegaan emosional. Ini suatu pengalaman atau perasaan tentang suatu kelegaan dan penyucian emosional yang diakibatkan suatu pengalaman emosional yang padat-kental (intense). Dalam psikologi, katarsis berarti pembebasan atau pelepasan psikologis dari kompleks-kompleks. (Dalam psikologi, suatu kompleks adalah suatu perangkat perasaan, gagasan, atau impuls yang berkaitan yang bisa ditekan dalam akal budi tapi yang terus-menerus memengaruhi pikiran dan perilaku seorang.) Ini proses yang menimbulkan ke permukaan akal budi emosi-emosi, kompleks, dan perasaan yang tertekan dalam suatu upaya untuk mengenal dan melepaskannya, atau hasil dari proses ini. Jadi, berbahasa lidah dalam konteks ini fungsional karena menjadi suatu medium katarsis bagi masa-masa yang berbahaya atau menguatirkan yang dihadapi atau dialami glosolalis.

Apakah Alkitab membenarkan berbahasa lidah yang fungsional seperti ini? Berbahasa lidah atau berbahasa roh lebih dari sekadar fungsional. Karunia Roh ini pada dasarnya punya fungsi lain, perantara, dan tujuan.

Tentang fungsinya, bahasa roh digunakan untuk mengucapkan hal-hal rahasia, untuk membangun diri glosolalis, untuk ditafsirkan “sehingga Jemaat dapat dibangun”, untuk dimengerti Jemaat, dan “adalah tanda … untuk orang yang tidak beriman, ….” Siapa Perantara bahasa roh? Roh Kudus. Siapa tujuan bahasa roh yang diucapkan? Allah (1 Kor 14:2, 4-5, 19, 22). Fungsi, perantara, dan tujuan berbahasa roh sesuai pasal dan ayat-ayat Alkitab rujukan ini tidak menjelaskan peranan katarsis dari berbahasa lidah atau berbahasa roh.

Kelima, kalau bukan perilaku yang abnormal, glosolalia bisa jadi adalah perilaku yang diharapkan normal, tergantung pada lingkungan masyarakat dan budaya. Glosolalia menurut pemahaman ini bisa dihasilkan melalui pengkondisian (conditioning) sosial dan budaya. Ini bisa dicapai melalui latihan dan adaptasi.

Karena glosolalia ada dalam masyarakat Kristen dan non-Kristen, pengkondisian glosolalia secara sosial dan budaya akan mencerminkan sistem nilai yang secara mendasar berbeda. Ajaran Kristen dan sistem nilai yang berkembang dari ajaran ini akan mendasari pengkondisian glosolalia sementara pandangan-dunia yang berbeda-beda di balik sistem nilai non-Kristen akan mendasari juga pengkondisian glosolalia dalam masyarakat dan kebudayaan mereka.

Apakah glosolalia atau bahasa roh membutuhkan pengkondisian, mensyaratkan latihan dan adaptasi, menurut Alkitab? Tidak. Siapa pun yang dipenuhi Roh Kudus tidak pernah diajarkan untuk berbahasa lidah. Mereka tidak sekalipun bertanya apa yang harus dilakukan supaya mereka bisa berbicara dalam sekurang-kurangnya lima belas bahasa asing yang berbeda-beda. Mereka juga tidak sekalipun diberitahu untuk bertindak atau mengucapkan apa pun. Sesungguhnya, mereka berbicara dalam bahasa lidah secara spontan, tanpa persiapan (Kis.10:46 dan 19:6). Lalu, sebelum berbicara dalam bahasa lidah, mereka tidak tahu bahwa bahasa lidah bahkan ada. Jelaslah bahwa karunia berbahasa lidah atau roh, menurut Alkitab, tidak membutuhkan pengkondisian.

Keenam, glosolalia adalah suatu bentuk ujaran yang dikembangkan sebagian. Di dalam glosolalia, alat-alat ujaran (pita suara, tenggorokan, mulut, lidah, langit-langit, gigi, bibir, dan rahang yang dipakai untuk menghasilkan suara) dari pikiran glosolalis dipakai untuk bermacam-macam fungsi mental di dalam diri glosolalis, seperti berbicara (termasuk dengan suara aneh dan garau), menyanyi, dan berdoa.

Ketujuh, glosolalia boleh jadi adalah suatu bentuk regresi (kemunduran ke suatu keadaan lebih awal atau yang kurang berkembang dari perilaku manusia) yang sehat yang melayani ego dan mengarah pada bentuk-bentuk hidup yang kreatif. Kesimpulan keenam ini jelas suatu dugaan.

Apa Itu Glosolalia Kristen dan non-Kristen?

Pendek kata, glosolalia dalam praktek-praktek agama non-Kristen keliling dunia bukanlah hasil karya Roh Kudus. Kalau glosolalia Kristen disertai keadaan histeris, disosiatif, atau kesurupan, ia tidak alkitabiah. Sifat-sifat ini tidak mencerminkan penguasaan diri, salah satu buah Roh: “Tetapi buah Roh ialah: . . . penguasaan diri” (Gal.5:23). Kemudian, bahasa lidah atau roh, menurut Alkitab, bukan bahasa orang gila kecuali kalau Jemaat beramai-ramai dan serentak berbahasa roh dan menimbulkan pemahaman orang luar atau mereka yang tidak beriman bahwa ada orang gila berteriak-teriak di dalam gereja. Kemudian, Alkitab tidak menjelaskan apakah bahasa lidah atau bahasa roh punya peranan katarsis atau tidak. Lalu, karunia berbahasa roh, menurut Alkitab, tidak membutuhkan pengkondisian. Akhirnya, glosolalia bisa diucapkan siapa pun, Kristen dan non-Kristen. Maka, kleim dari mereka yang mempraktekkan glosolalia Kristen bahwa karunia ini hanya diberikan kepada orang-orang pilihan Allah dipertanyakan.

0 komentar: