BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 13 Juli 2010

XV. Mengapa Bahasa Roh Berhenti?

Bahasa roh atau bahasa lidah akan berhenti untuk empat alasan utama. Pertama, karena sudah dinyatakan dalam 1 Korintus 13:8: bahasa roh akan berhenti. Kedua, masa berakhirnya adalah sejak Perjanjian Baru dikanonisasi menjelang abad ke-4 Masehi. Ketiga, penelitian ilmiah dalam bidang linguistik, psikologi, dan sains perilaku memperkuat argumen bahwa bahasa lidah adalah suatu gejala religius atau spiritual yang universal yang bersumber pada bahasa manusia. Keempat, semua gejala bahasa lidah yang muncul dalam sejarah manusia di luar PB tidak bisa dipercaya sebagai bahasa sorgawi atau bahasa malaikat.

Alasan ketiga tidak akan dijelaskan karena sudah dibahas dalam bab 11. Dengan demikian, ketiga alasan utama lainnya akan dijelaskan melalui berbagai contoh dan penafsiran.

Kalau bahasa lidah berhenti sejak kanonisasi PB, gejala religius itu kehilangan keotentikannya, seperti yang muncul dalam peristiwa Pentakosta di Yerusalem awal abad ke-1 Masehi. Adakah dukungan sejarah terhadap pandangan berdasarkan 1 Korintus 13:8 tadi? Ringkasan beberapa catatan sejarah pra-kanonisasi dan pasca-kanonisasi PB bisa menjawab pertanyaan ini.

Glosolalia antara tahun 100 dan 400 Masehi. Acuan-acuan tentang berbahasa lidah oleh Bapa-Bapa Gereja langka. Sedikit sekali dari mereka yang mengacu pada bahasa lidah mencakup Irenaeus abad ke-2 M dan Tertullianus tahun 207 M. Irenaeus mengatakan ada banyak orang di gereja yang berbicara dalam semua macam bahasa “melalui Roh.” Tertullianus mengacu pada karunia-karunia rohani untuk menafsirkan bahasa lidah yang ditemukan pada zamannya.

iranaeus Gambar Iranaeus

Laporan-laporan lain tentang glosolalia tidak berdasarkan sumber-sumber primer tentang glosolali. Sumber-sumber sekunder tentang glosolalia sangat sedikit. Tidak ada penilaian tentang otentik tidaknya gejala-gejala bahasa lidah dalam kurun itu.

Sumber-sumber sekunder itu mengatakan bahwa Yesus sudah memberikan karunia-karunia Roh kepada gereja. Karunia-karunia ini pada umumnya masih ada di gereja.

Beberapa contoh. Hilari dari Poitiers, seorang tokoh Gereja tahun 360 M, menyebutkan karya-karya hebat seperti karunia berbahasa lidah atau karunia menafsirkan berbagai bahasa lidah. Agustinus dari Hippo (354-430 M), seorang Bapa Gereja, memandang bahasa lidah (xenoglosia) sebagai suatu karunia bagi gereja kerasulan (gereja zaman rasul-rasul PB) saja. Dia berargumentasi bahwa orang-orang sezamannya tidak melihat orang menerima karunia berbahasa lidah menurut caranya sendiri, yaitu, seperti yang terjadi di hari raya Pentakosta.

tertullian
Gambar Tertullianus


Dibanding Hilari, Agustinus lebih jelas dalam memandang karunia berbahasa lidah sebagai tidak berlaku lagi pada zamannya. Ia hanya berlaku pada zaman para rasul PB.

Glosolalia Montanus dan pengikutnya abad ke-2 Masehi. Montanus yang menyebut dirinya nabi dan pembaharu agama Kristen mengaku dia mendapat wahyu khusus Roh Kudus. Dia mulai mengadakan KKR di mana-mana; di dalamnya, dia dan pengikutnya menekankan bahasa lidah, terkadang disertai ekstase sampai tidak sadar diri.

Agar mampu bernubuat, seorang pengikut Montanus dalam keadaan kesurupan supaya Allah menguasai seluruh dirinya dan berbicara melalui dia. Nubuatnya dimulai dengan kata-kata yang tidak bisa dimengerti dan disertai suara yang aneh-aneh.

Gerakan Montanis, gerakan berdasarkan ajaran Montanus, dimulai sekitar tahun 172 M di sekitar Asia Kecil (semenanjung Asia Barat, antara Laut Hitam, Laut Tengah dan Laut Aegea, dan mencakup Turki). Kemudian, gerakannya berkembang ke barat daya Asia Kecil. Gerakannya mencakup Tertullianus yang sudah disebutkan.

augustine of hippo Gambar Agustinus dari Hippo

Eusebius, Uskup Kaisaria, suatu kota pesisir di Mediterania, mengatakan Montanus dipakai oleh Setan. Para uskup pada zaman itu kemudian menetapkan gerakan Montanis sebagai suatu bidat. Sebagai akibatnya, gerakan itu lenyap di Afrika Utara tahun 370 M dan di tempat lain pada abad ke-6 M.

Jadi, sesudah bertahan selama sekitar 328 tahun, gerakan Montanis bubar. Penetapannya sebagai suatu bidat menunjukkan bahwa ajaran-ajaran gerakan itu, termasuk mekanisme bernubuat disertai bahasa lidah, tidak diakui Gereja pada zaman itu.

Glosolalia antara tahun 400 M dan 1900. Antara sekitar tahun 387 dan 493 M, Santo Patrick dari Irlandia menulis dia mendengar suatu bahasa asing yang didoakan Roh Kudus dalam suatu mimpinya. Tokoh-tokoh yang berbicara tentang bahasa lidah mencakup Bernard dari Clairvaux (tahun 1100-an M) dan Thomas Aquinas (1265 M). Berbahasa lidah oleh individu-individu dialami oleh Hildegard dari Bingen (tahun 1100-an M); Gustav von Below dari Jerman (1817); Brigham Young dan Joseph Smith dari Gereja Mormon, AS (1800-an). Komunitas-komunitas Kristen yang mengalami glosolalia: kaum Moravia (tahun 1300-an), kaum Kamisard dari Perancis (1600-an), kaum Quaker masa awal (1600-an), dan Gereja Kerasulan Katolik (1800-an).

thomas aquinas2
 Gambar Thomas Aquinas


Tidak semua tokoh Kristen periode tadi menerima pandangan bahwa bahasa lidah zaman rasul masih berlangsung. Bernard dari Clairvaux menyatakan bahwa berbicara dalam bahasa-bahasa baru (yaitu, bahasa lidah) adalah tanda-tanda yang tidak ada lagi. Sebagai gantinya, ada mujizat-mujizat yang lebih besar – kehidupan yang diubah dari orang-orang percaya. Thomas Aquinas senada dengan Bernard tapi memberi landasan teologianya tentang Gereja sebagai pengujar bahasa lidah untuk semua bangsa. Menurutnya, bahasa lidah dalam PB adalah kemampuan untuk berbicara dalam setiap bahasa, dikaruniakan bagi pekerjaan penginjilan. Kristus tidak memakai bahasa lidah karena misi-Nya untuk orang-orang Yahudi; serupa dengan Kristus, setiap orang percaya tidak lagi berbahasa lidah, berbicara dalam bahasa semua bangsa. Yang berbicara dalam bahasa semua bangsa sekarang adalah Gereja. Berbeda dengan tokoh-tokoh dan komunitas-komunitas Kristen selama periode tadi yang mengalami gejala-gejala bahasa lidah, mereka berdualah yang pada dasarnya menyiratkan bahwa bahasa lidah zaman rasul sudah berakhir.

Glosolalia antara 1901 dan 1906. Praktek Kristen modern dari glosolalia dimulai gerakan Pentakosta sekitar awal 1900-an di AS. Pusat gerakan Pentakosta dan kebangkitan kembali bahasa lidah di Gereja adalah di kota Topeka, Kansas. Tokoh bahasa lidah: Charles Fox Parham.

charles fox parham Charles Fox Parham

Parham dan pengikut-pengikutnya masa awal percaya bahasa lidah adalah xenoglosia. Berdasarkan kepercayaan dan semangat itu, beberapa pengikutnya pergi ke negara-negara asing dan mencoba memakai karunia itu untuk berbagi Injil dengan orang-orang yang tidak berbahasa Inggris. Tapi upaya-upaya mereka selalu berakhir dengan kegagalan; sebagai akibatnya, mereka kecewa karena mengucapkan bahasa-bahasa asing (dipercaya adalah bahasa-bahasa roh) yang tidak mereka pelajari sebelumnya. Banyak dari pengikut-pengikut Parham lalu menolak ajarannya. Kendati kemunduran-kemunduran ini, kepercayaan akan xenoglosia tetap bertahan di antara kelompok-kelompok Pentakosta sampai dengan paruhan kedua abad ke-20.

Glosolalia antara 1906 dan sekarang. Dari sejarah perkembangannya di AS, Gereja Pentakosta dicirikan di antaranya oleh apa yang dipercaya sebagai karunia berbahasa lidah. Ini dibedakan menjadi xenoglosia (bahasa asing yang tidak dimengerti pendengar) dan glosolalia (bahasa lidah).

Salah satu sempalan dari gerakan Pentakosta adalah Gereja Pentakosta Bersatu Internasional. Gereja ini memiliki kepercayaan-kepercayaan non-tradisional karena berlawanan dengan teologia Gereja Pentakosta yang lain. Salah satu kepercayaan itu adalah kemampuan berbicara dalam bahasa lidah. Berbahasa lidah, menurut gereja ini, adalah suatu petunjuk yang perlu dari suatu pertobatan religius yang absah. “Tidak ada bahasa lidah, tidak ada keselamatan.”

Ini kepercayaan yang bermasalah. Pertobatan dan kesalamatan orang Kristen tidak harus ditandai karunia berbahasa lidah. Tidak sekalipun ajaran Kristen tentang pertobatan dan keselamatan mengharuskan setiap orang mendapat karunia berbicara dalam bahasa lidah. Dalam 1 Korintus 12:1-11, misalnya, tidak sekalipun kita baca bahwa setiap orang Kristen harus berbahasa lidah; karunianya yang berasal dari Roh bersifat khusus. Kemudian, bukan karunia bahasa lidah melainkan kasih itulah yang paling utama (1 Kor.13:1). Karena itu, “tidak ada bahasa lidah, tidak ada keselamatan” adalah ajaran yang anti-alkitabiah.

Gerakan Karismatik adalah suatu bentuk kedua dari Gereja Pentakosta. Ia timbul di AS tahun 1960-an, muncul di Indonesia sesudah pertengahan 1960-an, dan menjadi populer tahun 1970-an.

Gerakan Karismatik mengidentifikasi tiga penggunaan yang berbeda dari bahasa lidah. Bahasa lidah (1) adalah bukti awal penerimaan baptisan dalam Roh Kudus, (2) digunakan dalam ibadah umum untuk membangun jemaat dan harus ditafsirkan atau diterjemahakan agar dipahami semua pendengar, dan (3) adalah doa pribadi kepada Allah, yaitu dipakai untuk membangun diri sendiri.

Penggunaan yang ketiga adalah suatu penafsiran yang keliru dari 1 Korintus 14:1-4. “Kejarlah kasih itu dan usahakanlah dirimu memperoleh karunia-karunia Roh, terutama karunia untuk bernubuat. Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab tidak ada seorangpun yang mengerti bahasanya; oleh Roh ia mengucapkan hal-hal yang rahasia. Tetapi siapa yang bernubuat, ia berkata-kata kepada manusia, ia membangun, menasihati dan menghibur. Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri, tetapi siapa yang bernubuat, ia membangun Jemaat.” Mengapa ayat-ayat ini, terutama ayat keempat, ditafsirkan secara keliru oleh Gerakan Karismatik?

Ada dua alasan. Pertama, karunia rohani dari berbicara dalam bahasa lidah, berdasarkan ajaran Alkitab, selalu mengacu pada bahasa manusia yang diketahui, yang nyata. Para rasul yang dikuasai Roh Kudus pada perayaan Pentakosta berbicara dalam bahasa-bahasa (dan dialek-dialek) asing yang dimengerti semua pendengarnya. Bahasa lidah, karena itu, bukan bunyi-bunyian omong kosong. Kedua, berangkat dari alasan pertama, bahasa lidah yang dijelaskan dalam seluruh pasal 14 Korintus adalah bahasa asing yang nyata, yang pasti. Karena itu, bahasa roh untuk membangun diri sendiri yang kita baca pada ayat 2 s/d 4 adalah bahasa asing yang jelas. Karena itu, secara khusus, ayat 4 bukanlah doa pribadi dengan bunyi-bunyian omong kosong.

Karunia Berbahasa Lidah atau Roh Sudah Berakhir

Jadi, apakah karunia bahasa lidah atau bahasa roh menurut Perjanjian Baru sudah berakhir sejak kanonisasi PB atau (menurut pandangan teologis Kristen yang lain) sesudah wafatnya semua rasul PB? Ya.

Pertama, hasil-hasil penelitian linguistik tentang glosolasia atau xenoglosia mendukung pandangan alkitabiah bahwa bahasa lidah di luar PB bersumber pada bahasa manusia yang “direkayasa.” Bahasa lidah macam ini menunjukkan bahwa karunia ini sudah berhenti sesudah wafatnya para rasul Yesus atau sejak kanonisasi PB.

Kedua, hasil-hasil penelitian linguistik, psikologi, dan antropologis menunjukkan juga bahwa glosolalia adalah gejala universal. Glosolalia tidak hanya dikenal dalam ajaran Kristen tapi juga dalam praktek-praktek religius di seluruh dunia. Kecuali untuk maksud-maksud yang unik dalam PB, bahasa lidah pasca PB atau pasca rasul-rasul PB yang dipraktekkan sekte-sekte Kristen tertentu jelas bukan bahasa sorgawi, bukan bahasa yang unik. Glosolalia zaman rasul-rasul sudah berakhir; yang mereka ucapkan adalah bunyi-bunyian omong kosong.

Ketiga, semua gejala bahasa lidah dalam agama-agama non-Kristen tidak dituntun oleh Roh Kudus. Seandainya memang dituntun Roh Kudus, penganut agama-agama itu pastilah bukan orang-orang kafir. Kasus-kasus historis tentang orang-orang Kristen yang berbahasa lidah dengan mengeluarkan suara-suara aneh atau garau dan dalam keadaan kesurupan memberi indikasi bahwa mereka dikuasai setan. Bahasa lidah mereka bukan lagi bahasa Roh Kudus dan menyiratkan sekali lagi bahwa bahasa lidah zaman rasul-rasul sudah berakhir bagi mereka.

Keempat, tidak semua catatan sejarah tentang glosolalia dalam bab ini mendukung pandangan alkitabiah bahwa glosolalia yang sejati (dalam PB) sudah berakhir. Kami tidak memiliki penjelasan yang memadai tentang kleim-kleim bahasa lidah sebelum abad ke-20 Masehi untuk menetapkan apakah kleim-kleim itu benar atau palsu. Sambil mencari info yang rinci tentang kleim-kleim tadi, kami mendukung pandangan alkitabiah bahwa bahasa lidah dalam Perjanjian Baru selalu mengacu pada bahasa asing yang nyata.

Nubuat atau Ramalan Non-Kristen

Nubuat atau ramalan di luar agama Kristen sering malah lebih cermat dibanding nubuat atau ramalan yang meleset oleh tokoh-tokoh Kristen tertentu dari abad ke abad, seperti yang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Ini mencakup ramalan-ramalan yang digenapi dari berbagai suku tradisional di Papua dan Papua Barat, dari beberapa penulis novel dan film fiksi ilmiah tenar dari Barat, dan dari beberapa tokoh ilmuwan tenar dari Barat. Ketepatan nubuat atau ramalan mereka akan dibahas berturut-turut dalam beberapa bab.

0 komentar: